Ilusi tentang Disiplin dan Cara Menanamkan Disiplin Positif

Berbicara tentang kata disiplin, maka sebagian besar orang akan mengaitkan dengan kata keteraturan, ketertiban, kepatuhan. Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan. Padahal disiplin yang dimaksud lebih dari sekedar kepatuhan, akan tetapi tanggung jawab yang berasal dari dalam diri seseorang.

Ada beberapa ilusi tentang disiplin  yang  diyakini sebagian besar orang. Coba simak pertanyaan-pertanyaan yang disarikan dari materi Pendidikan Guru Penggerak berikut ini.

Apakah guru dapat mengontrol murid?

Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai

Apakah semua penguatan positif efektif dan bermanfaat?

Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha. 

Apakah kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter?

Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.

Apakah orang dewasa memiliki hak untuk memaksa?

Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.

Setelah mencermati ilusi tentang disiplin tersebut, apakah kita masih akan mempercayai dan melakukan hal-hal yang kurang tepat tersebut untuk menanamkan disiplin pada murid? Adakah cara lain yang lebih baik?

Di dalam salah satu modul yang dipelajari penulis sebagai Calon Guru Penggerak Angkatan 3, dijelaskan ada cara lain yang lebih positif dalam menanamkan disiplin kepada murid. Penulis mencoba menerapkan ilmu baru di kelas 2 dan mengimbaskan kepada rekan-rekan sejawat di SD Muhammadiyah Pakem pada bulan Oktober 2021 di Central Laboratorium Madani Masjid Nurul Ilmi.

Belajar disiplin positif tidak harus dengan hukuman yang menyakitkan baik secara fisik maupun psikis. Selain dengan konsekuensi yang lebih bersifat netral, sebagai guru kita dapat menerapkan restitusi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).

Silakan cermati perbedaan hukuman, konsekuensi dan restitusi dalam tabel ini.

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya.

Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna.  Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.  

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.

Sumber: Materi Modul 1.4 Budaya Positif PGP Angkatan 3


    Kirim Komentar